Resensi Buku : Paulo Coelho - Seperti Sungai Yang Mengalir

Inti dari buku-buku Paulo Coelho semuanya hampir sama, supaya ketika kita hidup, kita benar-benar menjalani hidup, dan ketika kita mati, kita mati sebagai orang yang pernah menjalani hidup. Banyak manusia yang hidup tapi sedikit manusia yang benar-benar menjalani hidup. Kira-kira itulah yang saya dapatkan setelah membaca beberapa buku Paulo Coelho seperti The Alchemist, The Pilgrimage, The Winner Stands Alone, dan Aleph. Hanya setiap buku mengungkap sisi pandang lain terhadap kehidupan. Buku Seperti Sungai yang Mengalir ini juga sama, tapi buku ini adalah salah satu buku yang paling menginspirasi dan yang paling saya sukai.

Judul Seperti Sungai yang Mengalir
Judul Asli Ser Como O Rio Que Flui
Penulis Paulo Coelho
Alih Bahasa Tanti Lesmana
Penerbit Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit Cetakan Keempat - Januari 2014
Tebal 303 Halaman
ISBN 978-979-22-8156-9

Sarat Makna, Sarat Perenungan

Yang membuat buku ini berbeda adalah karena buku ini merupakan kumpulan cerpen, sementara buku (Paulo Coelho) lainnya adalah novel. Setiap cerpen di buku ini mengangkat aspek kehidupan yang berbeda dan memberi makna yang berbeda pula, sehingga banyak insipirasi yang bisa kita dapat hanya dengan membaca satu buku ini. Selain itu, karena buku ini adalah kumpulan cerpen, kita bisa berhenti sejenak lalu mulai merenungkan cerpen yang baru saja kita baca (agak berbeda dengan yang novel karena saya selalu penasaran dengan apa yang akan terjadi selanjutnya sehingga kadang lupa untuk merenungkan maknanya), walaupun hasrat untuk terus membalik lembar demi lembar tetap tidak bisa ditahan.



Karena buku ini adalah kumpulan cerpen, saya angkat saja beberapa cerpen yang paling berkesan untuk saya :

1. Manusia Memang Aneh (Hal 246) 

Buku ini benar, manusia memang aneh. Ketika kita kecil, kita ingin cepat-cepat menjadi dewasa, dan ketika kita dewasa, kita merindukan masa kecil kita. Hampir seluruh hidup kita kita habiskan untuk mencari uang hingga sakit-sakitan, lalu seluruh uang kita kita habiskan untuk berobat agar sembuh. Kita hidup seolah-olah kita tidak akan mati (sehingga kita suka menunda) dan mati seolah olah tidak pernah menjalani hidup (karena kita selalu menunda). Setelah membaca cerpen yang panjangnya tidak sampai satu halaman ini, satu pertanyaan timbul di hati saya : Mengapa kita tidak pernah bisa menikmati hidup kita yang ‘saat ini’? Mengapa kita terlalu sibuk memikirkan masa depan dan tidak kalah sibuknya mengenang masa lalu?

2. Dari Gelap Menjadi Terang (Hal 110) 

Cerpen yang satu ini juga tidak terlalu panjang, tapi benar-benar bermakna. Seorang rabi bertanya pada muridnya “Bagaimana persisnya kita tahu malam hari akan berakhir dan terang hari dimulai?” Ada yang menjawab “ketika kita bisa membedakan domba dan anjing”, dan ada pula yang menjawab “ketika kita bisa membedakan pohon zaitun dengan pohon kurma”. Tidak satupun jawaban mereka yang benar. “Kalau seorang asing menghampirimu dan kau menganggapnya saudaramu, dan semua perselisihan lenyap, saat itulah malam hari berakhir dan terang hari dimulai.”

3. Siapa yang Menginginkan Lembaran Dua Puluh Dollar Ini? 

Uang dua puluh dollar jika diinijak, dilipat, diremas, dilusuhkan, atau dilempar, lembaran itu tetap adalah uang dua puluh dollar. Nilainya tidak akan berubah. Hidup ini walaupun ditindas, dibohongi, dibenci, ditolak, atau dikucilkan, hidup itu tetap adalah hidup. Nilainya tidak akan berubah. Bergantung bagaimana kita menilai hidup kita sendiri.

Saya tidak perlu panjang lebar menceritakan cerpen-cerpen fantastis tulisan Paulo Coelho. Bacalah saja dan renungkan. Buku ini benar-benar sarat perenungan dan sarat makna. Paulo Coelho memang menulis dan semua tulisannya memukau.
Previous
Next Post »